Senin, 17 Maret 2014

Profesionalisme Suporter Sepakbola selama 90 Menit.

Berawal dari istilah Profesional 90 menit yang saya temukan pada Kuliah Twitter atau biasa disebut kultwit pada akun twitter @Anarki_87 yang menurut saya sangat bagus. Kultwit tersebut bertujuan khusus yang mengajak Aremania untuk menjadi supporter sepakbola yang berani dan total selama mendukung tim kebanggaan Arema. Kultwit bertepatan jelang pertandingan antara Arema Indonesia melawan tim ibukota, Persija Jakarta.
Suatu ajakan yang cerdas, berani, bahkan keras mengingat baiknya hubungan kedua kelompok supporter antara Aremania sebagai pendukung tim Singo Edan Arema Indonesia dan The Jak Mania sebagai pendukung tim yang berjuluk Macan Kemayoran, Persija Jakarta.
Fenomena supporter lokal akhir akhir ini memang menunjukkan gairah dan minat yang sangat tinggi terhadap sepakbola lokal, munculnya kelompok kelompok supporter ini juga tidak jarang menimbulkan gesekan antar kelompok supporter. Hingga akhirnya ada semacam opini muncul dua kubu kelompok supporter besar yaitu kubu Malang-Jakarta (Aremania-The Jak Mania) dan kubu Bandung-Surabaya (Viking dan Bonek Mania)
Dari kultwit yang disampaikan akun @Anarki_87 ini, begitu terasa kegelisahan pemilik akun akan fenomena hubungan supporter belakangan ini. Kegelisahan akan arti dan sikap dari para supporter, khususnya Aremania, Aremania tidak fokus dalam mendukung tim nya, tidak focus dalam menghancurkan mental tim lawan. Menurut akun @Anarki_87, supporter seharusnya bersikap selama pertandingan berlangsung dan didalam stadion, maka supporter tim lawan adalah musuh. Dan dengan tegas akun @Anarki_87 menyebutkan, kita jangan ragu-ragu mencaci tim lawan agar mental pemain tim lawan runtuh meski tim lawan tersebut suporternya memiliki hubungan baik dengan kita dan mempersilahkan supporter melanjutkan hubungan yang baik apabila diluar stadion.
Meski begitu, ada pro kontra dalam kultwit akun @Anarki_87, ada yang mendukung ada yang menentang.  Ajakan akun ini sangat baik. Tidak hanya pemain sepakbola yang dituntut untuk professional, kita juga perlu menjadi professional sebagai supporter, mendukung tim kebanggaan dengan totalitas tinggi, memerankan diri sebagai pemain ke dua belas di dalam stadion.
Kalo kita bandingkan dengan kelompok supporter eropa atau amerika latin dalam mendukung timnya, supporter local rasanya memang masih perlu banyak belajar bagaimana mendukung tim kebanggan mereka. Tidak hanya beli tiket dan duduk tenang menonton, tidak hanya berkreativitas, berteriak teriak, bernyanyi diatas tribun, tetapi juga bagaimana bersikap sebagai supporter.
Lalu, apakah kelompok supporter tidak boleh memiliki hubungan baik? Boleh sekali, tidak ada aturan tak tertulis sekalipun dalam dunia supporter untuk memiliki hubungan baik dengan kelompok supporter lain. Tergantung dari ideology yang dimiliki oleh masing masing kelompok supporter. Sebagai contoh, kita bisa melihat betapa harmonisnya hubungan kelompok supporter Nurnberg dan Schalke. Sampai sampai kedua kelompok supporter ini dalam suatu pertandingan  di Bundesliga, kedua kelompok supporter ini melakukan kreativitas bersama dengan menggunakan koreografi yang menunjukkan betapa baiknya hubungan kedua kelompok supporter ini. Di Italia, Ultras Milanisti dan Brescia juga memiliki hubungan yang baik antar kedua kelompok supporter. Akan tetapi, meski mereka memiliki hubungan yang baik, mereka tetap mendukung total tim kebanggaan mereka tanpa harus menghina kelompok supporter lawannya. Atau bagaimana totalitas ultras NEC Nijmegen yang memberikan support penuh hingga ke tempat latihan jelang pertandingan derbi melawan Vitesse.
Dari beberapa contoh diatas sudah menggambarkan, bagaimana supporter bersikap atas timnya, bukan sekedar bernyanyi, berteriak, berkreativitas tanpa jiwa, tetapi mendukung tim kebanggan dengan sepenuh hati, menjadikan sebuah klub sebagai indentitas diri di kancah persepakbolaan. Harus diakui, supporter klub lokal Indonesia masih belum mampu melakukan itu, bahkan untuk menjadi professional selama 90 menit pun masih belum mencapai kesana. Banyak yang mengkritik, bahwa supporter tim lokal baru sebatas life of style, belum menjadi way of life dalam mendukung tim kebanggaannya. Dibutuhkan proses panjang untuk menjadi supporter yang sekedar menjadi professional selama 90 menit, sepakbola kita baru sekedar olahraga menyenangkan untuk dimainkan dan ditonton, belum menjadi suatu olahraga yang menjadi suatu pekerjaan bahkan tradisi. Meski sudah lama mengenal sepakbola, perbedaan kultur, budaya, dan peristiwa politik juga mempengaruhi perkembangan sepakbola kita.

Kultwit akun @Anarki_87 tentang Profesional 90 menit bisa mengajarkan bagaimana kita bersikap dalam kehidupan sehari hari sebagai supporter sepakbola, mampu menempatkan pribadi dalam berbagai kondisi. Sudah sepatutnya ajakan  professional 90 menit ini mampu mengembalikan sikap para suporter sepakbola lokas secara total dan militan yang independen tanpa ditunggangi oleh pihak pihak manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar