Berawal dari istilah
Profesional 90 menit yang saya temukan pada Kuliah Twitter atau biasa disebut kultwit pada akun twitter @Anarki_87 yang
menurut saya sangat bagus. Kultwit tersebut bertujuan khusus yang mengajak Aremania untuk menjadi
supporter sepakbola yang berani dan total selama mendukung tim kebanggaan Arema.
Kultwit bertepatan jelang pertandingan antara Arema Indonesia melawan tim
ibukota, Persija Jakarta.
Suatu ajakan
yang cerdas, berani, bahkan keras mengingat baiknya hubungan kedua kelompok
supporter antara Aremania sebagai pendukung tim Singo Edan Arema Indonesia dan
The Jak Mania sebagai pendukung tim yang berjuluk Macan Kemayoran, Persija
Jakarta.
Fenomena
supporter lokal akhir akhir ini memang menunjukkan gairah dan minat yang sangat
tinggi terhadap sepakbola lokal, munculnya kelompok kelompok supporter ini juga
tidak jarang menimbulkan gesekan antar kelompok supporter. Hingga akhirnya ada
semacam opini muncul dua kubu kelompok supporter besar yaitu kubu
Malang-Jakarta (Aremania-The Jak Mania) dan kubu Bandung-Surabaya (Viking dan
Bonek Mania)
Dari kultwit
yang disampaikan akun @Anarki_87 ini, begitu terasa kegelisahan pemilik akun
akan fenomena hubungan supporter belakangan ini. Kegelisahan akan arti dan
sikap dari para supporter, khususnya Aremania, Aremania tidak fokus dalam
mendukung tim nya, tidak focus dalam menghancurkan mental tim lawan. Menurut
akun @Anarki_87, supporter seharusnya bersikap selama pertandingan berlangsung
dan didalam stadion, maka supporter tim lawan adalah musuh. Dan dengan tegas
akun @Anarki_87 menyebutkan, kita jangan ragu-ragu mencaci tim lawan agar
mental pemain tim lawan runtuh meski tim lawan tersebut suporternya memiliki
hubungan baik dengan kita dan mempersilahkan supporter melanjutkan hubungan
yang baik apabila diluar stadion.
Meski begitu,
ada pro kontra dalam kultwit akun @Anarki_87, ada yang mendukung ada yang
menentang. Ajakan akun ini sangat baik.
Tidak hanya pemain sepakbola yang dituntut untuk professional, kita juga perlu
menjadi professional sebagai supporter, mendukung tim kebanggaan dengan
totalitas tinggi, memerankan diri sebagai pemain ke dua belas di dalam stadion.
Kalo kita
bandingkan dengan kelompok supporter eropa atau amerika latin dalam mendukung
timnya, supporter local rasanya memang masih perlu banyak belajar bagaimana
mendukung tim kebanggan mereka. Tidak hanya beli tiket dan duduk tenang
menonton, tidak hanya berkreativitas, berteriak teriak, bernyanyi diatas
tribun, tetapi juga bagaimana bersikap sebagai supporter.
Lalu, apakah
kelompok supporter tidak boleh memiliki hubungan baik? Boleh sekali, tidak ada
aturan tak tertulis sekalipun dalam dunia supporter untuk memiliki hubungan
baik dengan kelompok supporter lain. Tergantung dari ideology yang dimiliki
oleh masing masing kelompok supporter. Sebagai contoh, kita bisa melihat betapa
harmonisnya hubungan kelompok supporter Nurnberg dan Schalke. Sampai sampai
kedua kelompok supporter ini dalam suatu pertandingan di Bundesliga, kedua kelompok supporter ini
melakukan kreativitas bersama dengan menggunakan koreografi yang menunjukkan
betapa baiknya hubungan kedua kelompok supporter ini. Di Italia, Ultras
Milanisti dan Brescia juga memiliki hubungan yang baik antar kedua kelompok
supporter. Akan tetapi, meski mereka memiliki hubungan yang baik, mereka tetap
mendukung total tim kebanggaan mereka tanpa harus menghina kelompok supporter
lawannya. Atau bagaimana totalitas ultras NEC Nijmegen yang memberikan support
penuh hingga ke tempat latihan jelang pertandingan derbi melawan Vitesse.
Dari beberapa
contoh diatas sudah menggambarkan, bagaimana supporter bersikap atas timnya,
bukan sekedar bernyanyi, berteriak, berkreativitas tanpa jiwa, tetapi mendukung tim kebanggan dengan sepenuh hati, menjadikan sebuah klub sebagai indentitas diri di kancah persepakbolaan. Harus diakui,
supporter klub lokal Indonesia masih belum mampu melakukan itu, bahkan untuk
menjadi professional selama 90 menit pun masih belum mencapai kesana. Banyak
yang mengkritik, bahwa supporter tim lokal baru sebatas life of style, belum
menjadi way of life dalam mendukung tim kebanggaannya. Dibutuhkan proses
panjang untuk menjadi supporter yang sekedar menjadi professional selama 90
menit, sepakbola kita baru sekedar olahraga menyenangkan untuk dimainkan dan
ditonton, belum menjadi suatu olahraga yang menjadi suatu pekerjaan bahkan
tradisi. Meski sudah lama mengenal sepakbola, perbedaan kultur, budaya, dan
peristiwa politik juga mempengaruhi perkembangan sepakbola kita.
Kultwit akun
@Anarki_87 tentang Profesional 90 menit bisa mengajarkan bagaimana kita
bersikap dalam kehidupan sehari hari sebagai supporter sepakbola, mampu
menempatkan pribadi dalam berbagai kondisi. Sudah sepatutnya ajakan professional 90 menit ini mampu mengembalikan
sikap para suporter sepakbola lokas secara total dan militan yang independen tanpa ditunggangi oleh pihak pihak manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar